Social Icons

Jumat, 01 April 2016

Ntah Lah

Tik..tok..tik..tok..

Detak jam wekerku terdengar begitu jelas di antara gemuruh suara pesawat yang lewat,terbang di atas rumah kos, tempatku berada sekarang. Menemani dinginnya hati yang sudah hampir mencapai titik beku. Menyentuh telinga tanpa mau mengganggu pemiliknya. Diam merenung seakan berada di puncak gunung dengan berjuta hiasan titik embun.

Ntah lah,
Masih banyak pertanyaanku tentang dunia seisinya. Memang, dunia ini pelik adanya. Aku sudah seringkali menyelami berbagai sudut dunia yang ada. Mencoba menemukan arti sebuah kata. Kata yang kebanyakan orang akan terhipnotis karenanya. Membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar. Membuat mudah semua hal yang terasa susah. Membuat ringan semua hal yang terasa berat. Kata itu sering kita ucap dengan nama ‘cinta’.

Ntah lah,
Aku masih ingat jelas bagaimana mereka berdua bercerita tentang kisah mereka. Sebuah kisah pelayaran cinta. Kisah yang diarungi sepasang manusia tanpa tahu dimana letak ujungnya. Kisah yang mereka harapkan berakhir bahagia tanpa sekalipun mereka bisa memastikannya.

Ntah lah,
Pertanyaan berikutnya muncul ketika aku menatap awan putih yang bersemayam di atas sana, “kenapa keduanya menceritakan semua ini kepadaku, tanpa mereka tahu sedikitpun bahwa aku adalah orang yang sama di balik celoteh kisah mereka?”

Ntah lah,
Aku anggap ini adalah bagian dari rencana-Nya, agar aku mau belajar tentang segala hal yang Dia putuskan. Sudah jelas! Tak akan pernah ada yang bisa diragukan atas kebaikan dan keindahan rencana-Nya.

Ntah lah,
Saat terik matahari tak bisa kuhindari kala menyapa sejuknya pagi, seorang jelita nan jauh disana bercerita kepadaku akan sesuatu. Telah datang kepadanya keseriusan seorang lelaki yang hendak menjadikannya pendamping hidup, mengarungi sisa waktunya bersama, selamanya. Lelaki yang berbeda, bukan orang yang selama ini ada di kisah cintanya. Dia mengaku senang, walaupun sebenarnya aku menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik pengakuannya itu. Ah, tidak! Aku mana tahu ada hal yang masih ia sembunyikan atau tidak. Ya, aku tidak tahu.
Beberapa jam kemudian di bawah langit yang berbeda, dekat dengan keberadaanku, seorang pria dengan penampilan yang kalem turut bercerita kepadaku. Dia akan kehilangan sebuah kesempatan yang dulu hampir dia dapatkan. Dia pernah berjanji pada seorang wanita yang dia dambakan untuk menjadikannya teman berlayar, mengarungi samudera kehidupan, bersamanya. Tapi dia telah didahului seseorang. Kini wanita pujaannya sudah ada yang meminang. Lelaki tampan yang sepertinya sudah jauh lebih siap untuk menyegerakan membangun kelurga, tanpa ada suatu kendala. Berbeda dengan dirinya.

Ntah lah,
Seorang jelita itu masih saja bercerita tentang sebuah pertemuan dengan lelaki yang berniat menjadi suaminya kelak. Sebuah hal yang mengejutkan menurutnya. Mungkin ini obat dari sang pencipta untuk menyembuhkan laranya. Lara yang harus ada karena sebuah ketulusan untuk menjalankan perintah. Sebagai bukti pengorbanan untuk membalas kebaikan cinta, dari-Nya. Dia pernah rela mengakhiri kisah cintanya.Berharap bisa mencurahkan segala rasanya kepada sang Pemilik Cinta. Hingga nanti tiba suatu masa dimana Sang Pemilik Cinta mengijinkan kisah itu terjalin kembali, seperti sebelumnya.
Masih dibawah langit yang berbeda, pria kalem itu bercerita tentang upaya untuk mengikhlaskan segalanya. Mencoba meringankan langkah kaki untuk melalui jalan yang telah dia pilih. Meluapkan seluruh rasa cinta kepada suatu Dzat, Dzat yang lebih berhak atas cintanya. Sebenarnya, pilihan untuk mengakhiri hubungan mereka itu sangatlah berat. Tapi apa boleh buat, pilihan itu sudah dia ambil berikut konsekuensinya. Langkah kaki yang masih terasa berat mungkin disebabkan karena dia belum bisa menjawab sebuah pertanyaan, “Bisakah aku melalui jalan yang kuambil hingga sampai pada akhir yang baik?”

Ntah lah,
Saat untaian ceritanya terucap melalui deretan huruf di layar hape-ku, aku semakin merasa bahwa sang jelita memang masih menyembunyikan suatu rasa. Mungkin dia masih enggan melupakan cinta lamanya. Dia asyik bercerita bagaimana dulu hari-hari saat membersamainya. Memasakkan sebuah makanan dengan bentuk hati untuknya.Membelikan beberapa bungkus obat saat pucat menghias wajah dan lelah menemani tubuh kekasihnya.
Aku selalu berusaha untuk bersabar ketika telingaku mendengar suaranya seringkali berubah.Terkadang senang penuh semangat, terkadang lirih dengan serak yang berat. Pria kalem itu mengaku jika hampir seluruh tempat di tiap sudut kota adalah saksi perjalanan cinta mereka dahulu. Warung makan, tempat jus, kantin sekolah, masjid kampus, kontrakan, bioskop, mall, dan yang lainnya. Seolah tempat-tempat itu menyanyikan lagu untuknya mengenang masa-masa itu.

Ntah lah,
Hingga detik akhir sang jelita akan memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu, dia masih menyempatkan untuk mengirim pesan kepada cinta lamanya. Dia menjelaskan keputusan yang hendak dia ambil. Berusaha sebaik mungkin menjaga hubungan dan silaturahim yang haram diputuskan.
Pada masa itu pula si pria kalem menahan hatinya yang sudah merapuh. Bingung mau membalas pesan darinya atau cukup hanya membacanya? Dia mengaku, sebenarnya dia sudah mengikhlaskan ini semua. Hanya saja masih berusaha perlahan untuk melupakan kisah cinta mereka. Kisah lama yang hingga kini masih menggantung di atas kepalanya. Butuh waktu katanya.

Ntah lah,
Aku masih belum tahu ini sebuah kisah yang menyenangkan atau menyedihkan. Bagiku tidak ada kata salah dalam segala hal untuk mendahulukan cinta kepada-Nya. Mau berkata apapun, memang Dia yang lebih berhak atas semuanya. Yang jelas aku bangga dengan pilihan mereka yang sama, sama-sama mendahulukan cinta mereka kepada-Nya. Walaupun di akhir, mereka tidak bisa lagi melanjutkan kisah cinta yang sudah pernah ada. Kecuali dengan rencana dan ijin dari-Nya.

Ntah lah,
Aku masih belajar untuk terus mencari dan memahami ini semua. Kisah lain tentang dua orang sahabat yang mendahulukan cinta mereka kepada Sang Mahacinta. Kisah yang bukan hanya sekedar dongeng pengantar tidur, namun nyata terjadi dan tersimpan rapi beberapa abad lamanya. Tinggal aku dan kamu berani belajar dari kisah ini atau tidak.

Ntah lah,
Seorang lelaki gagah Persia, Salman Al Farisy, meminta bantuan sahabatnya Abu Darda’ untuk meminangkan gadis yang berasal dari kalangannya. Semua persiapan dan bekal untuk pernikahan sudah berada di genggaman tangan Salman. Abu Darda’ juga tak kalah dalam mempersiapkan kalimat manis untuk menaklukkan hati gadis pujaan dan keluarganya. Tentu demi sahabatnya, Salman. Hingga saat-saat yang menentukan itu telah tiba. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana mereka. Tinggal menunggu jawaban dari gadis yang dipinang. Namun, ketika jawaban yang dinanti sudah disampaikan, suasana terasa berubah seketika. Semua merasa aneh,canggung, dan kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, sang gadis menolak secara halus pinangan dari Salman. Tidak hanya sampai disitu, dia mengutarakan jika Abu Darda’ sebagai orang yang mengantar juga berkenan atas dirinya, sang gadis tidak akan menolaknya. Nah, kira-kira apa yang ada di benakku dan benakmu jika saat itu kita ada disana? Lalu, Salman? Ah, ternyata dia begitu mulia hatinya. Dia justru tersenyum, kemudian menghadiahkan semua bekal pernikahan yang telah dia persiapkan sebelumnya kepada Abu Darda’ untuk meminang sang gadis.

Ntah lah,
Aku jelas tak tahu persis bagaimana hati Salman waktu itu. Mungkin baginya kebahagiaan saudaranya adalah kebahagiaannya, toh itu juga perintah dari-Nya, sebagai pembuktian cinta Salman kepada-Nya dan Abu Darda’, saudaranya. Jarang aku temui pada abad modern seperti sekarang akan hal semacam ini, rasa cinta yang sudah mencapai kadar tertingginya, mencintai Dia lebih dari segalanya. Tapi, bukan berarti hal itu tidak mungkin terjadi di masa sekarang kan? Boleh juga ini yang terjadi pada seorang jelita dan pria kalem, sahabatku.

Ntah lah,
Aku hanya berharap suatu saat nanti aku akan menemukan jawabannya. Ah, tidak! Aku tidak hanya ingin menemukan jawabannya, tapi juga ingin merasakannya. Merasakan cinta kepada-Nya melebihi dari segala hal yang ada. Aku beranggapan ketika aku mencintai-Nya, maka secara otomatis aku juga mencintai segala hal yang pantas dicintai selain Dia, tentu atas keridhoan-Nya.

Sekarang, jam weker itu masih saja berdetak. Sama seperti tadi. Kali ini ditemani gemuruh suara kipas angin. Masih menemani liarnya otakku, menghiasi tarian tanganku diatas deretan kotak hitam bertuliskan huruf, angka, dan tanda baca.

Tik..tok..tik..tok..

*published on February 16th, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates