Social Icons

Senin, 19 September 2011

Serpihan Untaian Kata

Dinginnya malam itu di kota pahlawan, tepatnya di kampus perjuangan, kampus tempat aku mendapatkan pengaderan spesial. Aku melihat jam tangan yang setiap hari melingkar di tangan, hampir tidak pernah lupa aku memakainya. Jarum pendek ada di angka 8, sedangkan jarum panjang ada di angka 3. Pukul 20.15 tepat aku berdiri di samping motorku yang aku parkir di bundaran kampus dekat masjid. Ah, sudah mulai sepi pikirku.


Tiba-tiba jantungku berdesir, berdegup lebih cepat saat melihat seorang akhwat berkaca mata yang aku kenal di sebuah forum beberapa waktu lalu. Berjalan sendiri sambil membawa tas laptop batiknya, menunduk dengan jilbab dan baju gamisnya, tak sedikitpun ada lekukan tubuh yang terlihat. Begitu sopan, rapi, tidak seperti kebanyakan cewek sekarang yang lebih sering menunjukkan lekuk tubuh walaupun dibalut dengan pakaian yang tertutup dari atas hingga bawah, sama saja bohong pikirku. Agak lama aku memandang dia berjalan, semilir angin menemani pandanganku yang tertuju padanya, suara binatang malam menjadi alunan musiknya, hingga akhirnya aku tersentak karena ada ranting pohon yang jatuh, tertiup angin dan menampar mukaku. Sedikit keras, hingga aku meringis kesakitan. Segera aku tersadar dan mengucap istighfar, aku sudah melakukan kesalahan dengan memandangnya pekat. Aku malu pada diriku sendiri karena kejadian itu, mungkin itu cara Allah menegurku dengan kelembutan-Nya.

Aku membalik badan, segera menaiki motor merahku yang sudah mulai kusam karena umurnya yang cukup tua.  Baru saja aku menyalakan mesin motorku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara motor yang sangat keras memekakkan telinga, diikuti dengan suara lembut seorang gadis yang berteriak minta tolong. Aku menoleh ke arah sumber datangnya suara. Sekarang di depan mataku, sedikit jauh di depan sana, ada dua orang berpakaian hitam yang menjambret laptop akhwat berkaca mata tadi. Spontan aku menarik gas motorku dan berusaha mengejar mereka, berharap dapat mengambil kembali laptop itu.

Motorku melaju kencang, berusaha berpacu dengan waktu. Sesekali aku melirik speedometer yang ada di depan mataku. Jarum menunjuk angka 80. Terus kupacu agar aku bisa mengejar mereka. Kini aku sudah berada di jalan raya yang sangat ramai. Sepertinya mereka tahu bahwa mereka sedang aku kejar, sehingga mereka juga terus memacu motornya secepat mungkin. Kulirik speedometerku lagi. Sekarang sudah menunjuk angka 100. Diam-diam aku bersyukur karena mesin motorku yang cukup tua itu masih bisa melaju sekencang itu. Ah, bukan waktunya berpikir tentang hal itu. Segera aku berkonsentrasi lagi, takut aku kehilangan jejak mereka di tengah himpitan mobil-mobil yang juga melaju kencang. Mereka meliuk-liuk melewati kendaraan-kendaraan yang jauh lebih besar dari motor kami. “Ciiiit…..!!!” suara rem-rem mobil yang mereka dahului terdengar mencekam. Diikuti dengan umpatan-umpatan si pengemudi mobil, semakin memanaskan suasana di malam itu. Aku pun juga tidak ketinggalan dalam melakukan aksi meliuk-liukkan badan di atas motor agar tetap seimbang. Bahkan tidak jarang aku menurunkan kaki agar keseimbanganku tetap terjaga. Tetap berpacu di tengah keramaian. Kulirik speedometerku bergerak naik turun di sekitar angka 100.

Berpacu dengan kecepatan ternyata tidak berpengaruh pada otakku yang mulai berperang dengan hati. Ada sebuah pertanyaan besar yang tiba-tiba muncul di benakku. Alasan apa yang membuatku mau mengejar para pencuri itu di tengah keramaian kota seperti ini, bahkan nyawa sebagai taruhannya? Apa benar aku bersungguh-sungguh ingin menolong saudaraku karena Allah? Atau aku hanya ingin menarik simpati akhwat berkaca mata itu? “astaghfirullah…” Berkali-kali aku menata hati, meluruskan niat agar tidak terjebak dalam sebuah kesia-siaan. Otakku masih berpikir, melayang, dan tiba-tiba… “CCIIITTT…..BRAKKKK!?!” Motorku menabrak mobil box dengan arah yang berbeda saat aku berusaha menyalip mobil sedan yang juga melaju kencang. Aku merasakan benturan yang sangat keras, helmku terpental, tubuhku melayang. Aku masih sempat merasakan ada hembusan angin sejuk ketika tubuhku terpelanting jauh, sebelum akhirnya ada mobil kijang yang menyambut tubuhku dari arah berlawanan. Kepalaku terbentur keras di kaca mobil, kemudian tubuhku terpental di jalan. Kepalaku terbentur di jalan, sedikit terseret kali ini, aku masih berusaha melindungi kepalaku. Tubuhku terseret hingga menubruk sesuatu, keras tepat di pinggangku. Aku melihat darahku berwarna merah kehitaman mengucur di depan mataku. Kepalaku pusing, seakan dunia ini berputar, berakhir dengan gelap sejauh pandangan mataku.

Perlahan mataku membuka, gelap menjadi terang. Kepalaku masih terasa pening. Aku melihat lampu kamarku masih menyala. Rupanya aku ketiduran setelah menulis sebuah novel yang ingin segera aku rampungkan bulan ini. “Alhamdulillah…. Allah masih memberikanku umur hingga pagi ini.” Aku meludah kecil ke sebelah kiri tiga kali dan kemudian berdoa agar Allah selalu memberikan perlindungan dan keselamatan untukku dan keluargaku. Mimpi buruk itu membuat tubuhku dibasahi dengan keringat dingin. Aku melihat jam dinding kamarku, jam menunjukkan pukul 3.20 dini hari, hampir masuk waktu subuh. Segera aku bangkit dan mengambil air wudlu dan aku akhiri sepertiga malamku dengan menyungkurkan wajahku ke hadirat-Nya. Menyadari sepenuhnya bahwa aku bukanlah apa-apa..... ^^v

4 komentar:

  1. ups...dikomen sama penulis beneran... hhe...jadi malu... (".)>

    makasih ya sudah mau mampir dan membaca...

    BalasHapus
  2. waaa bukan-bukan, eL masih belajar juga
    sip sama-sama
    aku suka gaya tulisanmu :)

    BalasHapus
  3. gaya penulisan?

    wah saya masih awam nih...gaya penulisan seperti apa ya??

    BalasHapus

 
 
Blogger Templates