Dinginnya malam itu di
kota pahlawan, tepatnya di kampus perjuangan, kampus tempat aku
mendapatkan pengaderan spesial. Aku melihat jam tangan yang setiap hari
melingkar di tangan, hampir tidak pernah lupa aku memakainya. Jarum
pendek ada di angka 8, sedangkan jarum panjang ada di angka 3. Pukul
20.15 tepat aku berdiri di samping motorku yang aku parkir di bundaran
kampus dekat masjid. Ah, sudah mulai sepi pikirku.
Tiba-tiba
jantungku berdesir, berdegup lebih cepat saat melihat seorang akhwat
berkaca mata yang aku kenal di sebuah forum beberapa waktu lalu.
Berjalan sendiri sambil membawa tas laptop batiknya, menunduk dengan
jilbab dan baju gamisnya, tak sedikitpun ada lekukan tubuh yang
terlihat. Begitu sopan, rapi, tidak seperti kebanyakan cewek sekarang
yang lebih sering menunjukkan lekuk tubuh walaupun dibalut dengan
pakaian yang tertutup dari atas hingga bawah, sama saja bohong pikirku.
Agak lama aku memandang dia berjalan, semilir angin menemani pandanganku
yang tertuju padanya, suara binatang malam menjadi alunan musiknya,
hingga akhirnya aku tersentak karena ada ranting pohon yang jatuh,
tertiup angin dan menampar mukaku. Sedikit keras, hingga aku meringis
kesakitan. Segera aku tersadar dan mengucap istighfar, aku sudah
melakukan kesalahan dengan memandangnya pekat. Aku malu pada diriku
sendiri karena kejadian itu, mungkin itu cara Allah menegurku dengan
kelembutan-Nya.
Aku membalik badan, segera menaiki motor
merahku yang sudah mulai kusam karena umurnya yang cukup tua. Baru saja
aku menyalakan mesin motorku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara
motor yang sangat keras memekakkan telinga, diikuti dengan suara lembut
seorang gadis yang berteriak minta tolong. Aku menoleh ke arah sumber
datangnya suara. Sekarang di depan mataku, sedikit jauh di depan sana,
ada dua orang berpakaian hitam yang menjambret laptop akhwat berkaca
mata tadi. Spontan aku menarik gas motorku dan berusaha mengejar mereka,
berharap dapat mengambil kembali laptop itu.
Motorku
melaju kencang, berusaha berpacu dengan waktu. Sesekali aku melirik
speedometer yang ada di depan mataku. Jarum menunjuk angka 80. Terus
kupacu agar aku bisa mengejar mereka. Kini aku sudah berada di jalan
raya yang sangat ramai. Sepertinya mereka tahu bahwa mereka sedang aku
kejar, sehingga mereka juga terus memacu motornya secepat mungkin.
Kulirik speedometerku lagi. Sekarang sudah menunjuk angka 100. Diam-diam
aku bersyukur karena mesin motorku yang cukup tua itu masih bisa melaju
sekencang itu. Ah, bukan waktunya berpikir tentang hal itu. Segera aku
berkonsentrasi lagi, takut aku kehilangan jejak mereka di tengah
himpitan mobil-mobil yang juga melaju kencang. Mereka meliuk-liuk
melewati kendaraan-kendaraan yang jauh lebih besar dari motor kami. “Ciiiit…..!!!”
suara rem-rem mobil yang mereka dahului terdengar mencekam. Diikuti
dengan umpatan-umpatan si pengemudi mobil, semakin memanaskan suasana di
malam itu. Aku pun juga tidak ketinggalan dalam melakukan aksi
meliuk-liukkan badan di atas motor agar tetap seimbang. Bahkan tidak
jarang aku menurunkan kaki agar keseimbanganku tetap terjaga. Tetap
berpacu di tengah keramaian. Kulirik speedometerku bergerak naik turun
di sekitar angka 100.
Berpacu dengan kecepatan ternyata
tidak berpengaruh pada otakku yang mulai berperang dengan hati. Ada
sebuah pertanyaan besar yang tiba-tiba muncul di benakku. Alasan apa
yang membuatku mau mengejar para pencuri itu di tengah keramaian kota
seperti ini, bahkan nyawa sebagai taruhannya? Apa benar aku
bersungguh-sungguh ingin menolong saudaraku karena Allah? Atau aku hanya
ingin menarik simpati akhwat berkaca mata itu? “astaghfirullah…”
Berkali-kali aku menata hati, meluruskan niat agar tidak terjebak dalam
sebuah kesia-siaan. Otakku masih berpikir, melayang, dan tiba-tiba… “CCIIITTT…..BRAKKKK!?!”
Motorku menabrak mobil box dengan arah yang berbeda saat aku berusaha
menyalip mobil sedan yang juga melaju kencang. Aku merasakan benturan
yang sangat keras, helmku terpental, tubuhku melayang. Aku masih sempat
merasakan ada hembusan angin sejuk ketika tubuhku terpelanting jauh,
sebelum akhirnya ada mobil kijang yang menyambut tubuhku dari arah
berlawanan. Kepalaku terbentur keras di kaca mobil, kemudian tubuhku
terpental di jalan. Kepalaku terbentur di jalan, sedikit terseret kali
ini, aku masih berusaha melindungi kepalaku. Tubuhku terseret hingga
menubruk sesuatu, keras tepat di pinggangku. Aku melihat darahku
berwarna merah kehitaman mengucur di depan mataku. Kepalaku pusing,
seakan dunia ini berputar, berakhir dengan gelap sejauh pandangan
mataku.
Perlahan mataku membuka, gelap menjadi terang.
Kepalaku masih terasa pening. Aku melihat lampu kamarku masih menyala.
Rupanya aku ketiduran setelah menulis sebuah novel yang ingin segera aku
rampungkan bulan ini. “Alhamdulillah…. Allah masih memberikanku umur hingga pagi ini.”
Aku meludah kecil ke sebelah kiri tiga kali dan kemudian berdoa agar
Allah selalu memberikan perlindungan dan keselamatan untukku dan
keluargaku. Mimpi buruk itu membuat tubuhku dibasahi dengan keringat
dingin. Aku melihat jam dinding kamarku, jam menunjukkan pukul 3.20 dini
hari, hampir masuk waktu subuh. Segera aku bangkit dan mengambil air
wudlu dan aku akhiri sepertiga malamku dengan menyungkurkan wajahku ke
hadirat-Nya. Menyadari sepenuhnya bahwa aku bukanlah apa-apa..... ^^v
Keren.. akhirnya yang mengejutkan
BalasHapusups...dikomen sama penulis beneran... hhe...jadi malu... (".)>
BalasHapusmakasih ya sudah mau mampir dan membaca...
waaa bukan-bukan, eL masih belajar juga
BalasHapussip sama-sama
aku suka gaya tulisanmu :)
gaya penulisan?
BalasHapuswah saya masih awam nih...gaya penulisan seperti apa ya??